Pages

Friday, November 12, 2010

Taman Nasional: sebuah masalah?

Indonesia memiliki jumlah Taman Nasional sekitar 50 kawasan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pengertian dari Taman Nasional sendiri adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan jika menilik dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Taman Nasional merupakan bagian dari aplikasi penetapan pemerintah terhadap hutan berdasarkan fungsinya. Taman nasional memiliki pembagian kawasan (zonasi) sesuai dengan Permenhut No. P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zonasi diartikan sebagai suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona. Zona TN adalah wilayah di dalam kawasan TN yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Penetapan suatu kawasan hingga akhirnya menjadi Taman Nasional terkadang tidak berdasarkan kenyataan yang ada namun hanya berdasarkan informasi yang seadanya. Tetapi tidak bisa menyalahkan bahwa kebijakan itu salah. Karena pada saat kebijakan itu disusun, informasi yang ada adalah opsi yang terbaik yang ada saat itu. Kesalahan fundamental yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan yang telah dikeluarkan terkait penunjukan status kawasan untuk Taman Nasional merupakan kebijakan tetap. Pemerintah tidak menyadari bahwa informasi yang ada dilapangan merupakan informasi yang dinamis. Secara antropologi, kebijakan merupakan interaksi antara stakeholders hasil interpretasi teks perundang-undangan yang kemudian dilaksanakan pada kegiatan tertentu (Shore dan Wright, 1997). Kebijakan secara prinsip merupakan instrument pemerintah untuk memfasilitasi kepentingan masyarakat (Soedomo, 2010). Sedangkan keinginan masyarakat adalah suatu dimensi yang abstrak dan dinamis.
Jika konsep tersebut telah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat umum, maka kasus seperti yang terjadi pada TNKS (Taman Nasional Kerinci-Seblat) tidak akan terjadi. Masyarakat adat Orang Rimba harus tetap tersisihkan dengan selimut Participatory. Artinya pemerintah harus mengkaji ulang apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan apa yang diamanatkan pada UUD 1945 dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Dan apakah pandangan bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional tidak diperkenankan adanya kegiatan manusia sesuai dengan adatnya masih relevan jika menilik kembali UUD 1945? Kehadiran masyarakat adat yang dimaksud disini adalah kebebasan akses dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari dalam hutan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat tersebut. Seperti yang tertera pada Pasal 50 UU no. 41/1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Sementara aturan yang mengatur tentang hak masyarakat adat belum merefleksikan kebutuhan masyarakat adat. Pasal 4 ayat 3 UU no. 41/1999 berbunyi: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” . Dari kutipan Undang-Undang tersebut jika dikorelasikan dengan fakta yang ada, maka yang menjadi pertanyaannya apakah jalan hidup dan kearifan lokal masyarakat adat masih dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional?? Bukan kah kepentingan masyarakat adat tersebut juga bagian dari kepentingan nasional? Dan bukankah kepentingan nasional tadi adalah kemakmuran rakyat? Lalu rakyat yang mana jika kepentingan masyarakat adat dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional?
Kebutuhan akan menfaat intangible dari kehadiran Taman Nasional memang diyakini sangat besar dan penting. Meskipun terkadang ada sebuah bias terhadap nilai intangible dan tangible dalam konteks Taman Nasional. Keberadaan suatu kawasan dengan nilai dan manfaat seperti halnya Taman Nasional mutlak dibutuhkan, namun prasyarat untuk membuat kebijakan se-statis Taman Nasional perlu ditelaah dengan lebih sempurna. Ketidaksempurnaan informasi itu seharusnya membuat kebijakan terhadap suatu kawasan harus tetap dinamis. Pemerintah dan stakeholders yang lain seyogyanya tidak menutup mata untuk tetap melihat bahwa kebijakan yang ada masih dapat dievaluasi, termasuk peruntukan Taman Nasional. Perubahan status kawasan tersebut disesuaikan dengan perkembangan informasi aktual yang terjadi antara masyarakat dengan kebutuhan terhadap kawasan, dengan tetap membuka mata terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada.  
 
salam lestari

Wednesday, November 3, 2010

Masalah Kehutanan Indonesia: Analisis PMDH pada IUPHHK-HT PT. Inhutani II Kalimantan Selatan

Hutan sebagai salah satu modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan berbagai pihak. Hal tersebut yang menyebabkan timbulnya benturan kepentingan. Salah satunya konflik antara masyarakat dengan pihak pengelola hutan. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dapat menjadi salah satu jenis kompensasi yang harus diberikan guna mencegah atau meminimalkan konflik yang berasal dari adanya kecemburuan masyarakat pada perusahaan. Dalam upayanya untuk menghindari benturan-benturan kepentingan terhadap sumberdaya hutan tersebut pihak IUPHHK-HT PT. Inhutani II Pulau Laut, telah menjalankan program PMDH tersebut.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan PMDH dan menentukan rekomendasi penyelesaiannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2009 di IUPHHK-HT PT. Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan dengan mengambil empat desa lokasi penelitian yaitu desa Semisir, Semaras, Tanjung Seloka, dan Sungai Bulan. Data yang diambil terdiri dari data sekunder dan data primer. Jumlah responden yang diambil sebanyak 40 orang responden masyarakat dan 15 orang responden petugas PMDH PT. Inhutani II Pulau Laut yang diambil secara purposive. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode triangulasi. Data tersebut dianalisis melalui teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis uji korelasi Pearson serta distribusi frekuensi  untuk melihat hubungan antara persepsi dan partisipasi masyarakat serta kinerja petugas.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa persepsi responden mengenai hak pemanfaatan hutan (hak penggunaan lahan dan pemungutan hasil hutan) secara umum telah menunjukkan kecenderungan yang positif. Namun partisipasi responden dalam perencanaan dan pelaksanaan program PMDH masih belum maksimal. Kompetensi petugas PMDH dari IUPHHK-HT PT. Inhutani II Pulau Laut termasuk dalam kategori baik. Namun banyaknya kendala dan permasalahan yang dihadapi membuat kinerja petugas tidak dapat maksimal. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi adalah pengaplingan lahan, penyalahgunaan lahan tumpangsari untuk kemudian di jual, pembakaran lahan dalam rangka persiapan tanam, dan penebangan liar. Penyebabnya konflik tersebut antara lain rendahnya tingkat pendidikan dan karakter masyarakat yang keras, masih teguhnya masyarakat terhadap tradisi yang mana tradisi tersebut berlawanan dengan ketentuan PT. Inhutani II Pulau Laut, masyarakat yang mudah terprovokasi, serta minimnya jumlah petugas PMDH.

Untukmu S.Hut


     Betul sepertinya,, rasanya aku memang belum pantas menyandang gelar sarjana. Sesuatu di balik susunan 4 huruf itu yang aku belum dapat.. S.Hut.. yang aku lakukan selam ini hanya lah menghapal dan menuangkan hapalan ke lembar jawaban lalu pulang ke kosan dan tidur. Itu yang aku lakukan selama hampir 5 tahun ini. Skripsi?? Hahaha.. hanya masalah permainan kata-kata tidak lebih.. proyek? Hanya butuh keringat dan sedikit kepandaian bicara, tdk lebih.. Sarjana Kehutanan,,apakah aku telah pantas untuk menyandang dan membawamu kemana langkah ku pergi? Apakah kau ikhlas jika kugunakan untuk mencari nafkah?  
     Sesungguhnya aku malu jika saat ini (dlm waktu dekat) aku memperoleh gelar itu. Seorang professor pernah menasehatiku: “apa yang kamu inginkan tdk akan kamu dapatkan dgn mudah tanpa usaha.” Dan aku merasa tidak melakukan apa2 untuk mendapatkanmu wahai S.Hut. maafkan aku jika aku membuatmu mengais rejeki di tempat yang bukan menjadi tempatmu. Maafkan aku jika aku hidup atas jasamu namun aku belum bisa menghargaimu. maafkan aku saat engkau sedang terpuruk, aku tidak berusaha mengangkatmu seperti kau telah mengangkat kehidupanku,, aku justru duduk di bawah dinginnya AC di tengah kota Jakarta di bawah tulisan B**K MANDI*** atau di balik papan AST*A atau malah sedang memikirkan tentang orang2 yg akan angkat kredit tapi dgn kondisi yg belum cukup mampu angkat kredit,, sekali lagi maafkan aku. Aku memang belum pantas menyandang gelar S.Hut.
     Teringat aku kepada sebuah tulisan dari seorang kawan tentang bagaimana idealnya seorang sarjana. Mungkin banyak yang bilang bahwa rejeki itu tidak akan bisa ditebak, Tuhan lah yang menentukan rejeki setiap manusia. Tapi lagi-lagi logikaku kembali tergelitik dan terpancing untuk berpikir: apakah setiap manusia terlahir untuk mengejar impiannya sendiri? apakah Tuhan pernah menciptakan manusia yang tugasnya benar-benar untuk memberi arti kehidupan bagi alam dan sesamanya? Jika iya,lalu kenapa semua kawan-kawan yang aku kenal selalu berkata: "adalah naif jika berpikir bahwa seorang sarjana kehutanan tidak boleh bermimpi untuk bekerja di perbankan. Dan jika memang harus bekerja di kehutanan ya pastinya Dephut."
Tidak adakah dari kalian yang berminat untuk mengabdi kepada kehutanan tanpa ada motif ekonomi?? Pertanyaan yang idealis dan sangat klise,tapi tidak ada salahnya kan bertanya??
Salam lestari,, salam damai..