Sebuah pemikiran muncul setelah beberapa kali berdiskusi dan membaca hal-hal tentang permasalahan kehutanan indonesia. kehutanan -dan sektor lain- merupakan dasar bagi pembangunan negara. Namun banyak permasalahan yang muncul dari aplikasi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Banyak muncul pro dan kontra oleh berbagai pihak terhadap langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam mengelola sumberdaya.
Seperti yang dikatakan oleh Prof. Hariadi (ahli kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan IPB) dalam bukunya MASALAH PONDASI PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA bahwa sejauh ini sebagian besar kalangan mengkaitkan kerusakan hutan dari sisi lemahnya pelaksanaan peraturan di lapangan, adanya aktor-aktor yang mensponsori pelaksanaan illegal logging, tingginya permintaan kayu domestik sebagai bahan baku industri, banyak terjadi konflik, maupun dan terutama dalam tiga tahun terakhir, faktor pelaksanaan otonomi daerah dianggap sebagai penyebabnya. Dengan kenyataan demikian, apakah berarti sistem pengelolaan hutan di Indonesia – dalam hal ini khususnya di hutan produksi – telah terbukti tidak lagi mampu menahan faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan? Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan ini yaitu: 1) Perbaikan kerangka pikir mengenai apa sebenarnya masalah pokok yang menyebabkan tingginya kerusakan hutan, 2) Kesesuaian kebijakan terhadap akar masalah yang ada, 3) Tingkat prioritas pembangunan. Ketiga pertimbangan tersebut menjadi sebuah kerangka pemikiran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan kehutanan sebagai pondasi pembangunan untuk kemudian menjadi strategi aplikasi pembangunan Indonesia melalui sektor kehutanan.
Kerangka pikir secara general tentang kerusakan hutan harus diperbaiki sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Kartodihardjo (2008) mengatakan bahwa kerusakan hutan adalah cermin lain dalam melihat wajah yang sebenarnya mengenai institusi, pelaksanaan pemerintahan dan birokrasi, serta peilaku usaha kehutanan di Indonesia. Hal tersebut terkait dengan aturan formal maupun informal dan sangsi yang membatasi atau bahkan memberi peluang bagi pengambil keputusan dari setiap pihak (pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat). Penguatan aspek kelembagaan bukan hanya meliputi organisasi penanggung jawab pelaksana kegiatan, tetapi juga menyangkut kepastian hak (property rights) atas hutan dan lahan. Kawasan hutan dan lahan yang masih dalam sengketa tidak mungkin mewujudkan rasa memiliki (sense of belonging) bagi masyarakat. Ironisnya, dalam konteks ini, masing-masing sektor justru menganggap masalah hak-hak atas hutan dan lahan atau aspek-aspek tenurial menjadi bagian dari isu sensitif yang selalu dihindari.
Kerusakan hutan pada dasarnya merupakan permasalahan yang berantai. Tidak bisa mengatakan bahwa kerusakan hutan semata-mata disebabkan karena tingginya permintaan terhadap hasil hutan sehingga timbul ekses yang merugikan seperti illegal logging, perambahan hutan, dll. Sebagai contoh, saat permintaan terhadap daging sapi tinggi maka akan timbul trend di masyarakat untuk mengusahakan peternakan sapi. Dan fakta yang ada setinggi-tingginya permintaan masyarakat tidak akan mempengaruhi keberadaan sapi. Kemudian menjadi pertanyaan kenapa hal yang sebaliknya terjadi di sektor kehutanan. Di sini lah peran pemerintah untuk mengatur melalui peraturan yang ada. Pemerintah harus bekerja sama dengan stakeholders yang berkaitan untuk menggali informasi tentang kondisi yang dapat menimbulkan trend kehutanan seperti halnya trend sapi. Menurut Soedarsono Soedomo, banyak policy yang diciptakan tidak disertai dengan mekanisme kontrol untuk melihat apakah kebijakan tersebut telah sesuai. Pengeluaran kebijakan oleh pemerintah hanya mengandalkan informasi yang tidak lengkap dan tidak disertai dengan penyempurnaan informasi dengan tujuan memperbaiki kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Informasi tentang sumberdaya hutan menjadi kebutuhan dasar pemerintah untuk menjalankan berbagai bentuk kewenangan penyelanggaraan kehutanan. Informasi yang paling penting menyangkut kepastian hak dan batas-batas hutan negara serta isi yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat berjalan namun tanpa obyek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan tidak akan efektif (Kartodihardjo, 1998). Selama ini sistem insentif menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan hutan yang berhubungan dengan masyarakat. Padahal insentif bagi pembangunan hutan dan keterbukaan kebijakan pemerintah bagi publik sudah semestinya diwujudkan bukan karena desakan ekonomi, desakan masyarakat, atau trend dunia melainkan dari penjabaran sifat hakiki sumberdaya hutan itu sendiri. Kebijakan hanyalah sebuah instrument untuk mencapai tujuan. Dan seyogyanya dalam merumuskan kebijakan harus menghindari kata “jangan” atau “dilarang”.
No comments:
Post a Comment